Ciri-ciri kebudayaan Hakka

Jati diri yang menunjukkan ciri utama Hakka antara lain diperlihatkan dengan penggunaan bahasa yang ditutur (Bahasa Hakka) serta tradisi dan budaya yang diamalkan. Masyarakat Hakka tidak termasuk dalam 56 kelompok suku bangsa yang diiktiraf secara rasmi oleh pemerintah China, jadi pengelas suku, ras atau bangsa tidaklah dapat digambarkan kepada kelompok ini dengan tepat. Sebailknya, kelompok Hakka dikategorikan dalam kelas "garis keturunan" (minxi, 民系) dari suku Han (kèjiā minxi, 客家民系) agar sebagai satu penjelasan.[7]

Pada awalnya Hakka seringkali dipandang rendah oleh kelompok Han lain bahkan dianggap kurang beradab karena sebagian besar tidak mempunyai tanah dan miskin.[6] Namun, orang Hakka mempertahankan jati diri dan sejarah asal usul dari China Utara yang merupakan pusat kebudayaan Tionghoa, sehingga menganggap mereka Tionghoa tulen yang masih mewarisi peradaban tinggi. Keyakinan asal dari utara dipegang teguh oleh orang Hakka. Walaupun mereka telah banyak berpindah randah dan menetap di berbagai-bagai daerah lain di China, mereka masih mempertahankan bahasa dan kebudayaan mereka yang didorong perasaan ingin mengasingkan diri.[7]

Di China selatan, orang Hakka merupakan pendatang terakhir di tanah orang lain dan seringkali harus bertahan menyara hidup di tanah yang tidak subur. Mereka dianggap rendah dan tidak diterima sehingga membentuk sifat yang ulet, berani, gigih dan tabah.[6] Konflik dengan penduduk asli menyebabkan mereka menjadi masyarakat yang memiliki semangat kekitaan yang tinggi dan saling berhubungan erat. Kaum lelaki memiliki tugas berat di luar rumah, sementara kaum wanita bekerja keras mengurus rumah dan ladang. Mereka bebas berdiri di atas kaki sendiri serta berkedudukan yang setaraf dengan lelaki dalam . Penolakan mengikat kaki kemungkinan dikarenakan alasan kemisikinan. Wanita hakka yang sudah tua seringkali berperan dalam mengambil keputusan rumah tangga. Selain persepsi negatif, kelompok Tionghoa lain juga menganggap orang Hakka jujur, pekerja keras dan sederhana. Konflik yang terus-menerus dengan penduduk asli menyebabkan orang Hakka berani mengambil risiko untuk keluar dari tempat asal dan berimigirasi ke berbagai tempat di China dan luar negeri.[8]

Wanita Hakka antara lainnya menolak tradisi mengikat kaki[9] memandangkan ia tidak sesuai dengan peranan dan pekerjaan mereka berbeda dari wanita Tionghoa kelompok lain, mereka sering diejek berkaki jelek dan besar disebabkan perbezaan fahaman ini.